Sabtu, 28 Januari 2012

pulau sepanjang

 sepanjang island

Secara geografis, Pulau Sepanjang, Sapeken, masih termasuk bagian dari Pulau Madura. Meski pulau ini termasuk bagian dari Kabupaten Sumenep, Madura, namun secara kultur nyaris berbeda. Bahasa sehari-hari yang mereka gunakan bukan Bahasa Madura, melainkan Bahasa Bugis, Mandar dan Bajo.
Dinamakan Pulau Sepanjang, karena bentuknya memanjang. Di pulau ini terdapat dua desa: Sepanjang dan Desa Tanjung Peak. Bila dilihat dari permukaan, Pulau Sepanjang bukan pulau kering dan tandus. Hijau dedaunan dan lebatnya pepohonan masih terlihat jelas. Kesan awal yang lahir bila mendatangi pulau tersebut pastilah beranggapan pulau ini adalah pulau yang subur. Suasana sejuk dan dinginnya suhu Sepanjang akan sangat terasa.
Dalam kenyataannya, memang seperti itulah kondisi pulau Sepanjang. Tanahnya subur, masyarakatnya makmur. Penghasilan masyarakat Sepanjang didapat dari hasil tanah yang mereka tempati, baik yang berbentuk sawah atau halaman belakang rumah mereka. Selain itu, ada juga yang mencari penghasilan dari laut: menangkap ikan dan bertani rumput laut. Tetapi, hal ini tidak seberapa bila dibandingkan dengan hasil bumi dari tanah yang mereka diami.
Pulau Sepanjang dikenal dengan pulau pisang. Istilah itu didapat dari kemampuan produksi pulau ini yang dalam dua minggunya mampu mengirim kurang lebih sekitar 75 ton pisang ke Bali dan Banyuwangi. Jenis pisang yang dikirim adalah pisang kepok atau raja: pisang yang biasa diolah menjadi kripik. Ada juga jenis pisang yang lainnya tetapi tidak banyak.
Selain pisang, pulau ini juga penuh dengan pohon kelapa. Tetapi produktifitas pohon kelapa masih kalah jauh dengan pohon pisang. Dengan pisang, masyarakat Sepanjang mampu memenuhi kebutuhan rumah tangganya. “Biasanya kalau pisang sudah berbuah, sebelum dipanen para pembeli sudah datang duluan. Jadi, kebutuhan rumah tangga sebenarnya sudah cukup dengan hasil penjualan buah pisang,” ujar Pak Rahmat, tukang tambal ban.
Penanaman pohon pisang tidak membutuhkan banyak biaya. Mereka hanya memindahkan tunas-tunas pisang yang masih kecil ke tempat lain lalu membiarkannya tumbuh besar hingga berbuah, tanpa harus memakai pupuk untuk menyuburkan tanahnya.
Tetapi kini, riwayat pulau pisang yang terdiri dari dua desa itu (Desa Sepanjang dan Tanjung Peok) mulai terancam. Pulau Sepanjang mengalami krisis yang cukup parah. “Sepanjang ini sebenarnya menjerit lho, Mas,” ujar Kiki, bekas pekerja katering di PT. Kangean Energi Indonesia (KEI), saat ditanya perihal kondisi pulaunya. “Dulu, pulau ini sesak dengan pohon pisang, dan hasil buahnya dikirim ke luar daerah. Tetapi sekarang, jangankan mengirim keluar, masyarakat Sepanjang sendiri sudah sulit untuk menikmati buah pisang,” lanjutnya.
Petaka yang menimpa Sepanjang ini bermula sejak beroperasinya PT. KEI tahun 2004 lalu. Dampaknya baru terasa dua tahun kemudian. Sejak tahun 2006 pohon pisang mulai rusak, hingga tahun 2010 pohon pisang benar-benar pupus. Memang, ada bantuan pohon pisang yang didatangkan dari Jawa, tetapi juga tidak bisa bertahan hidup. Atau, jika hidup dan sampai berbuah, bagian dalamnya banyak yang hitam karena membusuk. Padahal, kulit luarnya tidak tampak seperti pisang terkena penyakit. Buah pisang pun jadi teramat langka bagi masyarakat Sepanjang. Sejak saat itu, riwayat Sepanjang sebagai pulau pisang mulai terbenam.
Tidak saja pohon pisang, tanaman yang lainpun, seperti padi, kacang panjang, cabe dan tumbuhan juga rusak. Pak Abdullah, warga Sepanjang asal Pulau Kangean, bercerita tentang rusaknya tanaman sejak beroperasinya KEI. Ia mengatakan bahwa ada penyusutan yang cukup drastis dari hasil pertaniannya. Hasil panen padi yang biasanya mendapatkan 3 Kwintal (tanpa menggunakan pupuk) menjadi 5-6 Kg dalam setengah hektarnya. Ini pun sudah menggunakan pupuk. “Dulu, dalam satu bulan, bersihnya saya mendapat tujuh juta dari hasil panen pisang,” akunya, mengenang pulaunya yang subur. Satu-satunya pohon berbuah yang tidak rusak hanyalah pohon kelapa. Akan tetapi, tingkat produksinya sangatlah lamban, tidak sama seperti yang sebelumnya.
Dampak lingkungan dari beroperasinya KEI yang berakibat fatal pada ekonomi masyarakat ini tidak saja dialami oleh masyarakat yang menanam pohon pisang, tetapi juga berdampak pada penghasilan masyarakat yang memiliki kapal pengangkut barang. Kapal yang biasanya tiap minggu beroperasi ke Bali dan Banyuwangi, kini harus menunggu satu setengah sampai dua bulan untuk berlayar. Itu pun hanya sebatas pengangkutan buah kelapa. Kapal-kapal itu lebih banyak diam dari pada bekerja.
Terkait dengan kerusakan lingkungan ini, pihak perusahan acuh tak acuh dengan kondisi Pulau Sepanjang yang kian sekarat. Kondisi ekonomi masyarakat yang makin melemah sama sekali tidak pernah memicu perhatian mereka. Alokasi dana untuk Program Penunjang Kegiatan Operasi dan Program Community Development yang miliaran rupiah sama sekali tidak pernah terlaksana. Sekedar menyebut contoh, bantuan penerangan atau Pembangkit Listrik Tenaga Desel (PLTD) yang sebelumnya dijanjikan hingga saat ini belum juga terwujud. “Hanya kabarnya saja yang menyeruak, buktinya belum ada,” terang Yanto, warga Sepanjang yang kuliah di Malang. “Ya, beginilah, Mas, Sepanjang ketika malam. Seperti hutan,” lanjutnya. Peningkatan ekonomi pertanian dan perikanan yang dialokasikan hingga 1,1 M dalam rancangan program 2010 juga tak kunjung nyata.
Tidak hanya itu, masyarakat Sepanjang juga tidak pernah merasakan adanya bantuan untuk pengembangan desa dari pihak pemerintah. Kepala Desa yang mestinya menjadi pengayom, justru sering tidak ada di pulau tersebut (baca: Desa Sepanjang). Ia malah membuat rumah di Kota Sumenep. Bahkan, saat terjadi ledakan kapal tanker, 28 Agustus 2010, Kepala Desa Sepanjang tidak tahu betul tentang kondisi masyarakatnya. Teriakan kepala Desa di koran hanyalah palsu. Sebab, ia sendiri tidak berada di tempat kejadian, baik sebelum maupun sesudah ledakan itu terjadi.
Salim, warga Sepanjang yang kini menempuh kuliah di kota Sumenep menuturkan, krisis yang terjadi di Pulau Sepanjang tidak saja dipicu oleh adanya perusahaan KEI, tetapi karena latar pendidikan masyarakat Sepanjang yang rendah. Aktifitas warga yang merusak terhadap lingkungan juga mereka lakukan. “Pembalakan liar sudah terjadi sejak dulu. Ketika itu saya masih SD, kurang lebih sekitar tahun 1986. Bahkan, jauh sebelum itu memang sudah terjadi. Pohon-pohon jati milik pemerintah sekarang sudah habis. Hutan-hutan sudah gundul. Sampai saat ini hal itu masih terus terjadi, padahal sudah ada yang ditangkap,” terangnya. Bila perusakan terhadap lingkungan yang merupakan penyebab terjadinya krisis di Pulau Sepanjang masih terus terjadi, tidak berlebihan kiranya bila kita beranggapan Pulau Sepanjang tidak akan berumur panjang.

1 komentar:

  1. tinggal kita sebagai putra sepanjang umumnya putra bajo sapeken yang di harapkan oleh masarakat bajo sapeken yang akan merubah pulau sepanjang akan menjadi lebih baik atau menjadi buruk,melihat semangat kita yang seperti ini.....!

    BalasHapus